Literasi, Upaya Melawan Hoaks

(Sumber foto : bandungmerdeka.com)

Oleh : Afifah Nurhidayatinnisa

Masyarakat Indonesia berada dalam “status” waspada hoaks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KemDikBud) versi daring, hoaks berarti (1) berita bohong. Hoaks terus merajalela diberbagai jejaring internet terutama media sosial.

Media sosial merupakan sasaran empuk para hoaker dalam menyebarkan berita bohong, karena di era digital saat ini pengguna internet dan media sosial sangat banyak. Di lansir dari website Kementerian Komunikasi dan Informatika (KemenKomInfo), tercatat pertanggal 19 Februari 2018 jumlah pengguna internet tahun 2017 telah mencapai 143,26 juta jiwa atau setara dengan 54,68 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.

Dengan jumlah yang sebanyak ini, dimungkinkan masyarakat Indonesia lebih cenderung mencari dan mendapatkan informasi atau berita dari internet. Karena informasi yang dicari adalah yang mendukung pemahaman dan pandangan kita saja. Sedangkan informasi yang berseberangan dianggap salah dan diabaikan. Tidak heran jika berita bohong atau hoaks tumbuh subur di tengah masyarakat Indonesia.

Penyebaran berita hoaks dapat dilakukan berbagai kalangan, baik individu, kelompok atau organisasi. Alasan penyebaran hoaks bisa bermacam-macam, misalnya karena kepentingan pribadi atau kelompok, sengaja disebar untuk merusak hidup bermasyarakat, atau tidak sengaja menjadi penyebar hoaks. Orang yang tidak sengaja menjadi hoaker lebih tepat dikatakan sebagai korban. Korban dalam menanggapi informasi yang salah, sehingga tanpa sadar membagikan informasi bohong kepada orang banyak.

Keterikatan identitas dapat menjadi virus yang berbahaya dalam penyebaran berita hoaks. Karena berpengaruh besar terhadap masyarakat. Identitas ini meliputi identitas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), juga afiliasi politik. Secara otomatis masyarakat akan membela identitas dirinya tanpa melihat terlebih dahulu informasi tersebut benar atau tidak. Karena identitas merupakan keniscayaan yang tidak bisa terlepas dari masyarakat.

Kita bisa menengok kasus penganiayaan aktivis Ratna Sarumpaet yang belakangan ramai di media sosial. Mengetahui salah satu anggota tim suksesnya mengalami tindak kekerasan, ketua umum partai Gerindra, yang juga calon presiden periode 2019-2024, Prabowo Subianto, langsung turun tangan menanggapi berita ini dan mengecam pelaku penganiayaan tanpa melihat terlebih dahulu kebenaran beritanya.

Banyak yang menduga pengeroyokan dilakukan pihak lawan, sehingga menimbulkan perselisihan dari kedua kubu capres. Pada kenyataannya, Ratna Sarumpaet tidak pernah mengalami penganiayaan. Melainkan gagal dalam melakukan sedot lemak di bagian wajah.

Dilain pihak, artis Ingrid Kansil dan Dorce Gamalama menjadi korban teror netizen setelah mengunggah foto di media sosial dengan memegang gambar Ratna Sarumpaet yang babak belur. Mereka dianggap ikut terlibat dalam berita bohong ini. Yang mereka lakukan hanya ingin membantu menyuarakan keadilan bagi sesama perempuan. Tanpa mengecek terlebih dahulu kebenaran beritanya, mereka langsung mengunggah foto tersebut. Ini salah satu kesalahan menerima informasi tanpa verifikasi. Hal ini bisa membuktikan betapa sangat berpengaruhnya keterikatan identitas dalam penyebaran hoaks.

Jika sudah begini rakyatlah yang menjadi korban berita bohong. Rakyat terpecah-belah karena Informasi yang salah. Hal ini sangat berbahaya, karena dapat menimbulkan kemarahan dan kebencian terhadap pihak lain. Lebih parahnya lagi dapat meruntuhkan persatuan bangsa, karena hoaks lebih cepat tersebar dan dikonsumsi masyarakat. Sehingga bisa dikatakan, hoaks sebagai senjata konflik paling berbahaya di era informasi seperti sekarang ini.

Minat membaca di Indonesia sangat rendah. Berbanding terbalik dengan minat penggunaan internet dan media sosial. Hal ini juga bisa menjadi penyebab penyebaran hoaks. Sehingga pembelajaran tentang literasi sangat penting bagi bangsa Indonesia. Literasi yang dimaksud bukan hanya mengenai belajar membaca dan menulis (literasi non-digital), namun juga mengenai literasi digital.

Literasi digital bisa diartikan sebagai kemampuan menggunakan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK) untuk menemukan, memanfaatkan dan mengomunikasikan informasi. Tanpa adanya literasi digital, pengguna internet dan media sosial dapat terserang virus hoaks. Karena berita bohong banyak beredar melalui situs online. Sehingga adanya literasi digital sangat diperlukan. Jangan sampai pengguna internet membiarkan berita bohong terus bersliweran di sekelilingnya. Bahkan membagikannya di media sosial.

Pembelajaran literasi perlu dilakukan sejak dini. Jika sudah terbiasa diajarkan literasi, diharapkan kedepannya mereka bisa lebih bijak dan kritis dengan informasi yang didapatkan. Mereka juga bertanggung jawab dalam pemanfaatan internet. Literasi bisa dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, dan sosial atau umum.

Penerapan literasi di sekolah bisa disebut sebagai hal biasa, karena sekolah mewajibkan siswanya untuk belajar menulis, membaca, dan memahami teknologi. Yang lebih utama adalah menerapkan literasi di lingkungan keluarga. Karena keluarga adalah media pertama dalam pembelajaran segala hal. Diharapkan sebelum terjun ke dunia sekolah, anak-anak sudah punya bekal dalam melanjutkan pembelajaran literasinya.

Masyarakat di lingkungan sosial atau umum juga perlu mendapatkan bimbingan literasi. Penerapan literasinya bisa dengan membuat seminar perihal penggunaan internet. Dengan adanya pembelajaran literasi di tiga sektor ini, artinya semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan hal yang sama dalam pembelajaran literasi.

Oleh karena itu pemanfaatan internet harus diimbangi dengan literasi digital maupun non-digital. Kalau keduanya berdampingan, diharapkan masyarakat harus lebih melek informasi dan tidak langsung menelan informasi yang didapat secara mentah-mentah. Kita juga memiliki pengetahuan dan sumber yang cukup untuk membedakan informasi yang benar atau salah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *