Santri, Manusia Serba Bisa

(sumber foto : dokumentasi Pondok Aisyah Kempek)

Oleh : Aniyah el-Nani

“Santri” sebutan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga pendidikan yang dijalani selesai. Menurut bahasa, istilah santri berasal dari bahasa Sanskerta, “shastri” yang memiliki akar kata yang sama dengan kata sastra yang berarti kitab suci, agama dan pengetahuan.

Santri itu menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik, bisa disebut dengan kaum tradisionalis atau Islam tradisioanalisme yang mana di dalamnya masih membudidayakan tradisi-tradisi lama, lebih mengedepankan nilai-nilai budaya tradisional. Contohnya di dalam Pondok Pesantren Kempek, yang mana setiap tahunnya mengadakan shafaran yaitu masak bersama membuat kue cimplo, lalu dibagikan ke setiap kamar, kemudian dimakan bersama-sama. Itu salah satu tradisi lama tapi masih tetap dikembangkan, tujuanya menolak bahaya atau biasanya orang-orang menyebutnya dengan tolak bala.

Disamping itu, Islam tradisionalis memiliki misi tersendiri yaitu rahmatan lil’alamin yang artinya menebarkan kasih sayang sesama manusia dan seluruh alam. Islam tradisionalis merupakan Islam yang di anut oleh bangsa Indonesia, tentunya tidak hanya mengedepankan nilai-nilai ke-Islaman saja, akan tetapi mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kebangsaan Indonesia.

Kaum santri tidak hanya mengaji dengan membawa kitab suci saja,  akan tetapi belajar secara (universal), diantaranya: mengaji, mempelajari ilmu-ilmu dasar, berpolitik, pelajaran formal dan non-formal. Dengan seperti itu memberikan pengetahuan dan wawasan yang menyeluruh untuk santri.

Untuk menjadi santri yang berprestasi dan berperan aktif di masyarakat. Santri dilatih sedemikian dini, dengan  mengikuti beberapa  pengkaderan  atau sebuah organisasi, yang  mana, di dalam organisasi tersebut berisikan pengetahuan-pengetahuan dan ilmu-ilmu berpolitik, guna untuk menciptakan rasa percaya diri dan menjadi leadership yang terdidik.

Kesederhanaan kaum santri merupakan bentuk kerendahan hati, yang mana ini adalah bentuk   proses supaya santri menjadi insan yang berkualitas, dan  harapan bangsa Indonesia. Santri memiliki ciri khas tersendiri, diantaranya memakai sarung, topi miring (kopyah), sandal jepit dan lain sebagainya. Semua yang digunakan santri tidak menyempitkan rasa percaya diri seorang santri. Keseharian santri tak lepas dari yang namanya mengantri, entah itu mengantri di kamar mandi,  beli makanan,  maupun ketika mengaji, itu merupakan salah satu bentuk melatih diri sendiri agar menjadi insan yang sabar dalam menyikapi segala hal.

Kehidupan santri memang  penuh dengan keprihatinan, dari mulai makan (ala kadarnya), tidur (desak-desakan), pakaian, tempat belajar, kurangnya informasi atau  bisa disebut dengan kuper alias kurang pergaulan. Tapi, semua itu bukan penghambat rasa semangat santri. Melainkan, semangat juang santri sangat luar biasa. Kaum santri bisa dikatakan manusia serba bisa (multitalenta), dilihat dari sejarah pejuang bangsa Indonesia yaitu almarhum KH. Abdurahaman Wahid atau yang biasa dikenal dengan sebutan Gus Dur, Beliau pernah menjabat presiden yang ke-4 di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain beliau, masih ada lagi yaitu KH. Mustofa Bisri. Beliau adalah sosok Kiai sekaligus pengasuh  di Pondok Pesantren Raudlatul Thalibien, Beliau mahir dalam bidang seni dengan melalui syair-syairnya. salah satu karangannya adalah  puisi  yang sudah sangat terkenal di masyarakat, yang berisikan sindiran buat negeri .

Kedua sosok tersebut, merupakan contoh dari sekian banyak kalangan santri, yang berhasil membuktikan bahwa santri adalah manusia serba bisa (multitalenta). Kaum santri bisa berkarya, berdakwah, dan menyuarakan perdamaian. Tak hanya itu saja, kaum santri juga bersemangat lantaran ada maqolah yang artinya sebagai berikut, “sebaik-baik manusia ialah yang paling banyak memberikan manfaat di antara mereka”. Selain itu, doa dan restu  dari orang tua serta kiai turut berperan akan suksesnya santri.

Kaum santri,  identik dengan kesederhanaan, kesabaran dan ketawaduan. Mencari ilmu tanpa kenal lelah demi menjadi insan yang mulia, tidak hanya mengedepankan nilai metode ke-islaman saja, akan tetapi masih mengembangkan nilai budaya-budaya Indonesia. Maka dari itu, kaum santri berhak berprestasi menjujung tinggi nilai ke-islaman dan membangun Indonesia agar menjadi negara yang adil dan makmur.

Ada dua ruh santri yang dapat menjadi potensi negara untuk memajukan bangsa ini : pertama, santri terdidik dengan sikap kemandirian, di mana satu ciri orang-orang sukses adalah memiliki jiwa yang mandiri. Kemandirian ini diajarkan oleh hadis: “ Mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim). Kedua, ruh jihad. Definisi jihad di sini adalah tekat dan komitmen yang kuat dalam mengarungi samudra penderitaan serta memecahkan permasalahan. Bangsa dengan tingkat kesungguhan yang kuat akan dapat menaklukan dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *