Suri Tauladan Nabi Muhammad (2)

Kerja Keras Umair

Di tempat lain, yang terjadi kepada Sofwan sungguh memprihatinkan, karena perasaan takut yang telah mendominasinya. Dia lari, dan terus berlari menjauh dari Makkah, mencoba mencari perlindungan dari sebagian rumah yang dia lewati, namun nihil,  tak ada satu pun yang mau menolongnya. Sebab mereka telah menjadi pengikut Muhammad. Setiap langkah kaki yang dilalui, Dia selalu menoleh kesana-kemari dengan perasaan was-was, takut, barangkali ada yang mengikutinya dan menyerangnya dengan tiba-tiba.

Setelah merasa kelelahan, Sofwan berhenti sejenak untuk istirahat. Pada kebisuan dan keputus asaan, Dia menatap laut yang ada di depannya, lalu terbesit pikiran. Apakah lebih baik Dia bunuh diri saja, agar semua beban yang ditanggungnya hilang,  bersamaan dengan hilangnya nyawa dari tubuh Sofwan. Lalu, mendekatlah Dia ke laut itu untuk melancarkan niatnya tersebut. Tapi, tiba-tiba, dari jauh Dia melihat ada bayangan manusia yang sedang mengawasinya. Siapakah Dia? Apakah Dia datang untuk membunuhku?.

Tak lama setelah itu, bayangan tersebut menunjukkan wujudnya. Tercengahlah Sofwan begitu mengetahui kalau itu adalah Umair, sahabatnya, orang yang sangat ahli dalam berperang, yang dulupun tak gentar untuk membunuh Muhammad.

Ketika Umair datang mendekat, Sofwan bersiap-siap memegang pedangnya, “Mau apa kau datang menemuiku Umair, apakah kau ingin membunuh ku?”

“kau pun ingin membunuh ku Sofwan”. Jawab Umair tenang. Kemudian Umair melanjutkan kembali ucapannya,“ Wahai sahabat ku, Sofwan, aku datang dihadapanmu diutus oleh orang yang paling baik dan orang yang suka menyambung tali silaturahmi”. Berceritalah Umair tentang pertemuannya dengan Nabi.

Jadi, Tatkala Fathul Makkah terjadi, Umair senantiasa mengawasi setiap pergerakan Sofwan. Umair yang memang sudah sangat kenal dengan perangai Sofwan yang tidak mudah percaya dan keras kepala, mengambil inisiatif untuk mendatangi Nabi. kemudian, Dia menemui Nabi dan menceritakan keadaan Sofwan kepadanya. Kalau Sofwan dalam keadaan depresi, paranoia, dan takut kalau Dia tak mendapatkan keamanan atas dirinya. Nabi menjawab “Saya jamin dia aman”.

“Nabi Muhammad menjamin keamanan mu”, ucap Umair untuk menyakinkan Sofwan.

Sofwan yang masih diselimuti rasa ketakutannya tidak mempercayai perkataan Umair, Dia takut itu hanya siasat yang dibuat oleh Umair agar Sofwan terjebak perangkapnya, “aku tak percaya akan perkataan kamu, kecuali kamu membawa bukti itu padaku”.

Akhirnya, tanpa merasa lelah, Umair pergi dari tempat Sofwan menuju kota Makkah untuk menemui Nabi. Dengan jarak sekitar 80 kilometer. Setelah bertemu kembali dengan Nabi, Umair pun menyampaikan bahwa Dia sudah menemui Sofwan dan mengatakan kesediaan Nabi untuk menjamin keamanannya. Namun sofwan tetap tak percaya dan meminta bukti dari jaminan tersebut.

Nabi pun menjawab atas keresahan Umair, “Bawalah Sorban ku dan serahkanlah kepada Sofwan, sebagai bukti bahwa aku menjaminnya”.

Sesampainya Umair dihadapan Sofwan, Dia menyerahkan sorban Nabi, “Sofwan, aku datang kembali, dari manusia terbaik, yang begitu penyayang, rela berkorban untuk orang lain, lembut dan santun”. Segala sifat Nabi, cinta kasihnya, begitu sangat terlihat. Beliau bukan hanya mengerti akan kesusahan kaumnya, tapi juga ikut merasakan apa yang mereka rasakan.

Barulah setelah itu Sofwan jujur kepada Umair, kalau Dia hanya merasa ketakutan, takut dibunuh oleh Nabi dan pengikutnya. Dengan segala kenyakinannya, Umair menyakinkan pada Sofwan untuk kembali ke Makkah dengan damai.

Setibanya di Makkah, Umair mengajak Sofwan untuk menemui Nabi di kediamannya. Namun, ketika mereka menuju kediaman Nabi, keduanya mendapati Nabi sedang melaksanakan sholat dengan umatnya. Dengan wajah kebingungan Sofwan bertanya kepada Umair, “Berapa kalikah umat Muslim melaksanakan Salat?.

“lima”, jawab Umair.

“Apakah Muhammad senantiasa melakukannya bersama mereka”, tanyanya lagi.

“ya”, jawab Umair kembali.

Dalam diam, Sofwan merasa takjub dengan apa yang disaksikannya, begitu dekatnya Nabi dengan umatnya, Dia tak pernah merasakan dan juga menemukan pemimpin yang seperti itu. Bahkan, saat Dia menjadi pemimpin, tak pernah dekat dengan pengikutnya.

Usai melaksanakan Salat, Nabi melangkah keluar dan mendapati Umair dan Sofwan sedang menunggunya.

“Ya Muhammad, aku datang dengan membawa sorban mu”, kata Sofwan.

Kemudian Nabi memanggil Sofwan dan menyuruhnya untuk mendekat kepada Nabi. Namun,  Sofwan yang masih pada ketakutannya, tetap menaruh curiga dengan sikap Nabi kepadanya. Padahal yang ditunjukkan Nabi bukan kesangaran tapi keramahan. Sampai Nabi memberi intruksi kepada Umair untuk membawa Sofwan kehadapannya, Sofwan tetap pada pendiriannya, tidak mau!.

Nabi jelas melihat ketakutan dan keraguan Sofwan terhadapnya, kemudian berkata, “Baiklah, aku berikan kepadamu waktu 4 bulan untuk berfikir”, tanpa ada paksaan dan intimidasi dalam perkataannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *