Wayang, Seren Taun, dan Keteguhan Perempuan Sunda Wiwitan

Penulis: Siti Robiah, LPM Latar ISIF Cirebon

Di kaki Gunung Ciremai yang sejuk, cahaya temaram lampu  menerpa tubuh perempuan yang membelakangi  penonton. Dia hanya berdiam. Hingga tiba alunan gamelan yang membuatnya mulai memainkan gerakan, ia perlahan berputar. Tubuhnya mengikuti irama gamelan yang mulai mengalun. Gerakannya begitu lincah, penuh kekuatan. 

Setiap lenggok tubuhnya mengisahkan sebuah cerita. Gerakan tangannya melukiskan emosi yang mendalam. Topeng merah itu memperlihatkan kekuatan dan ketegasan seorang perempuan yang sedang menari.

Dia menari luwes dengan iringan musik. Penonton semakin terhanyut dalam suasana. Tiada yang tahu sosok tangguh di balik topeng itu. Ia hanya menari dengan pakaian tradisionalnya yang bermotif batik. Penari itu memakai penutup kepala berwarna hitam dengan untaian warna merah di sisi kiri dan kanan. Gerakannya yang tajam dan dinamis. 

Penonton semakin penasaran. Topeng itu menjadi pusat perhatian, memancarkan aura mistis yang memikat. Penonton riuh ketika tarian itu selesai. Semua terkesima. 

Dialah Nur Anani Maska Irman, sang penari. Perempuan itu satu-satunya pewaris dalang topeng Losari Cirebon. Tarian ini dipercaya ada sejak 400 tahun silam. Dia generasi ketujuh, melatih tari lewat Sanggar Purwa Kencana Cirebon. Nani Topeng Losari merupakan cucu dari Maestro Dewi Sawitri, dalang Topeng Dari Losari yang merupakan generasi keenam dari trah topeng losari. 

Gerakan yang tegas dan cepat penari di ruang pamer wayang Taman Paseban Tri Panca Tunggal pada 28 Juni 2024 itu bagian dari acara Seren Taun masyarakat adat Sunda Wiwitan di Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Tema Seren Taun kali ini Merawat Meruwat Pusaka Budaya Nusantara yang digelar pada 2024 atau 1957 Tahun Saka Sunda. 

Tari topeng itu salah satu pusaka budaya Nusantara. “Bentuk penghormatan atas dedikasi Bu Nani dalam merawat budaya,” kata Ketua Panitia Seren Taun, Juwita ditemui di Cigugur, Jawa Barat. 

Panitia Seren Taun menampilkannya sebagai bentuk apresiasi agar tari topeng Losari lebih dikenal masyarakat luas. Tari itu dipentaskan bersamaan dengan kidung spiritual dan rangkaian acara khusus lainya sebagai bentuk penghormatan terhadap kesakralan tari topeng Losari. 

Tari topeng Losari punya filosofi berdoa kepada Tuhan, tubuh, dan bumi. Tiga gerak yang menjadi ciri khas gaya Losari adalah gerak “galeong, pasang naga seser (kuda-kuda menyamping lebar) menyerupai sikap kathakali di India dan sikap gantung kaki yang mirip dengan kaki patung Dewa Siwa sebagai Nataraja dari India yang mengharuskan penarinya memperlihatkan telapak kakinya ke samping. Instrumen yang dimainkan dalam gerak tari tidak lepas dari keselarasan alam, makhluk dan Tuhan sang pencipta.

Dari pertunjukan tari topeng, di ruangan yang sama di sudut kiri terpajang wayang kulit dan wayang golek koleksi masyarakat adat Cigugur. Wayang-wayang yang dipamerkan menjadi saksi bisu perjalanan panjang budaya. Setiap tokoh wayang memiliki cerita dan makna, sama seperti tari topeng Losari. Keduanya warisan budaya, bagian dari kekayaan dan kedalaman spiritual leluhur bangsa. 

Menurut Juwita, keduanya berhasil bertahan dan berkembang dari generasi ke generasi, meskipun menghadapi berbagai tantangan. Melalui pelestarian kedua seni pertunjukan ini, orang tidak hanya menjaga warisan budaya nenek moyang, melainkan juga memperkaya khazanah seni Indonesia. 

Seren taun menunjukkan warisan budaya  milik bersama dan harus dijaga. Wayang koleksi Cigugur menjadi aset dan warisan budaya yang harus dikenalkan, sejalan dengan komitmen merawat dan meruwat Budaya Nusantara. Juwita menyebutkan sangat sedikit orang yang mengetahui kekayaan sejarah ini. Selama ini orang tak banyak tahu bahwa masyarakat Cigugur memiliki koleksi wayang kulit, bukan hanya wayang golek.

“Kami diberi mandat untuk menjaga dan memelihara semua aset adat. Seren taun menjadi ruang untuk menyampaikan pesan-pesan itu,” ucap dia.

Wayang Cigugur, kata Juwita kaya nilai sejarah. Pencipta wayang membuatnya dengan laku spiritual, hati-hati, dan menghasilkan warna yang kuat. “Nggak mungkin pembuatnya gradak gruduk dengan perilaku yang yang tidak stabil bisa membuat detail wayang seperti itu,” tutur Juwita yang merupakan kakak dari Dewi Kanti, tokoh komunitas Sunda Wiwitan. 

Menurut Dewi Kanti, koleksi wayang kulit Cigugur relevan dengan sejarah yang kuat karena jejaknya dapat ditelusuri hingga Cirebon, khususnya di Gebang. Wayang Cigugur memiliki perbedaan signifikan dengan wayang Cirebon, baik dari segi desain grafis maupun nilai spiritual. 

Wayang Cigugur atau dikenal juga dengan nama wayang kulit gebang kinatar menjadi  salah satu kekayaan budaya Indonesia yang langka dan istimewa. Berbeda dari wayang kulit Cirebon dan Demak yang dikenal sebagai media syiar Islam, wayang gebang kinatar memancarkan nilai-nilai spiritual lokal Sunda dan Jawa, bukan Hindu. Hal ini menjadikannya unik sebagai kekayaan budaya Nusantara.

Perbedaan lain terlihat dalam desain grafis, di mana wayang Cigugur memiliki simbol resi pandita dalam kayon-nya, sementara wayang Cirebon memiliki unsur budaya  naga liman, Arab, Cina, dan India yang mempengaruhi kebudayaan Cirebon. 

Wayang kulit itu, kata Dewi Kanti menjadi satu-satunya yang tersisa dari periode tersebut dengan kualitas yang sangat prima. Koleksi wayang itu mendapatkan perhatian khusus dan pujian dari berbagai pemerhati budaya terkemuka yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Professor Matthew Isaac Cohen dari Yale University.

Menurut Dewi Kanti, mereka mengungkapkan kekaguman terhadap kehalusan ukiran gringsing pada wayang kulit gebang kinatar. Gringsing yaitu teknik ukiran yang sangat detail, membuat permukaan kulit wayang menyerupai serat kain kelambu sehingga dapat ditembus cahaya secara utuh dan membuat pentas wayang seakan terasa nyata dan hidup.

“Keunikan ini tidak hanya mencerminkan keterampilan tinggi pembuatnya, tetapi juga memperlihatkan kualitas estetika yang sangat tinggi,” kata Dewi Kanti. 

Kualitas dan nilai sejarah yang tak tertandingi itu membuat wayang kulit gebang kinatar menjadi salah satu warisan budaya yang patut dijaga dan dilestarikan. Keunikan dan keindahan wayang ini tidak hanya menghubungkan dengan masa lalu, tetapi juga menjadi saksi bisu dari kekayaan budaya Indonesia yang patut dibanggakan.

Dewi Kanti menjelaskan di balik megahnya cerita wayang kulit gebang kinatar, masyarakat adat Cigugur punya harapan agar semua wayang kulit koleksi Cigugur kembali seluruhnya. Wayang yang dipamerkan pada perayaan ini hanya sedikit dari total keseluruhan sebanyak 300 wayang. Wayang Cigugur tersebar di berbagai tangan. 

Dia menyebutkan sulit untuk memboyong mereka ke Cigugur setelah tragedi penyerangan taman Paseban. “Pada beberapa periode kami lengah menjaga karena situasi keamanan. Saat itu terjadi kekerasan dan persekusi,” kata Dewi Kanti. 

Wayang Cigugur hilang setelah Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia menyerang masyarakat adat Cigugur pasca-kemerdekaan Indonesia. Tragedi 1965 juga membuat wayang Cigugur hilang. 

Peran Perempuan Sunda Wiwitan 

Seren Taun tidak hanya mempersatukan masyarakat dari berbagai latar belakang, melainkan menjadi panggung bagi perempuan Sunda Wiwitan untuk menunjukkan peran penting mereka. Dalam tradisi Sunda Wiwitan, laki-laki dan perempuan punya kedudukan yang setara. 

Juwita menjelaskan Sunda Wiwitan mengajarkan perempuan dan laki-laki bukan untuk bersaing, tetapi untuk bersanding dan saling melengkapi. Perempuan dalam Seren Taun punya peran yang beragam. Mereka terlibat aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan acara, tidak hanya urusan domestik di dapur. 

Dalam pameran wayang, perempuan terlibat dalam sesi pembukaan kotak wayang yang sangat sakral. Selama ini pembukaan kotak wayang hanya melibatkan laki-laki. Perempuan Sunda Wiwitan juga menyiapkan  sesajen atau sarandu untuk ritual saat pembukaan wayang sebelum dipamerkan. 

Juwita yang dipercaya menjadi Ketua Panitia Seren Taun tahun menggambarkan pentingnya peran perempuan Sunda Wiwitan. Juwita dan Dewi Kanti dikenal gigih mempertahankan dan memperjuangkan identitas Sunda Wiwitan. Sebagai generasi keempat Sunda Wiwitan dari Rama Djati Kusuma, mereka menyadari mempertahankan warisan kebudayaan  sebuah kewajiban.

“Seren Taun lebih dari sekadar perwujudan rasa syukur. Ini adalah identitas dan warisan yang harus dikenalkan dari leluhur,” kata Juwita. 

Menurut dia, perjalanan panjang menuju perayaan ini tidak mudah. Saat Orde Baru berkuasa, masyarakat adat  Sunda Wiwitan harus menghadapi kebijakan yang membatasi kebebasan berekspresi mereka dengan pelarangan pelaksanaan Seren Taun melalui Surat Keputusan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat No. 44/1982.

Setelah 26 tahun berlalu, suasana berubah. Negara perlahan-lahan memberikan ruang dan kebebasan bagi masyarakat adat untuk menjalankan Seren Taun. Dia berharap negara tidak hanya mendukung masyarakat Adat Sunda Wiwitan dalam bentuk seremoni, melainkan memahami perjuangan mereka.

“Karena sebetulnya di Seren Taun tuh dibilang kendalanya banyak ada, dibilang tidak ada kendala nggak juga. Kekuatan kami itu kalau melihat masalah dana akan mengernyitkan dahi.  Bicara daya nggak ada matinya kita,” tutur Juwita sembari tersenyum. 

Dewi Kanti menyebutkan pemerintah berperan untuk mengedukasi masyarakat luas tentang pentingnya Seren Taun. Acara ini bagian dari penghormatan terhadap Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.

Menurut dia dukungan pemerintah bisa menjadi obat dari luka-luka masyarakat adat Sunda Wiwitan karena diskriminasi. Dia berharap akan timbul harapan baru Sunda Wiwitan tentang kehidupan yang lebih baik. Dukungan pemerintah akan mempercepat pemulihan trauma akibat diskriminasi yang panjang. Seren Taun bisa menjadi pelajaran dan upaya Sunda Wiwitan dalam mempertahankan kebudayaan.

“Semoga bisa menjadi ruang refleksi bersama. Masyarakat adat harus punya daya tahan kalau mau berkelanjutan,” kata Dewi Kanti. 

Diskriminasi dan Menjaga Identitas

Meriahnya Seren Taun bagi Dewi Kanti dan masyarakat adat Sunda Wiwitan menjadi obat atas luka karena diskriminasi yang mereka terima.  Juwarsih, perempuan berusia 42 tahun asal Majalengka berbagi kisah tentang keluarganya dalam menghadapi diskriminasi sehari-hari. 

Anak Juwarsih sering dianggap Kristen dan kafir karena sering berkunjung ke Cigugur. Guru sekolah anaknya kerap memaksanya agar mengenakan jilbab di sekolah. Suami Juwarsih juga kerap dikucilkan oleh masyarakat.

“Hidup sebagai minoritas itu tantangnya sangat berat,” ungkap Juwarsih. 

Bagi Juwarsih, perayaan Seren Taun menjadi wadah pertemuan masyarakat adat Sunda Wiwitan yang tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat. Seren Taun seperti rumah bersama yang menyatukan keluarga Sunda Wiwitan.

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Satu tanggapan untuk “Wayang, Seren Taun, dan Keteguhan Perempuan Sunda Wiwitan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *